Sabtu, 10 November 2012

PAMUR

Dengan bermodal restu dari ayah dan Wedana Galis berangkatlah Raden Hasan Habuddin Sastrosubroto menuju ke sebelah timur, yaitu Kalianget. Dari Kalianget menyeberangi laut menuju pulau kecil, yakni Talangoh. Alat transportasi yang dapat digunakan menyeberang waktu itu hanyalah perahu-perahu kecil dengan mengandalkan layar dan tenaga manusia. Setibanya di Talangoh, Hasan belajar bela diri. Permainan bela diri di Talangoh ini melengkapi keahlian bela diri yang sudah dimilikinya sejak berada di Pemekasan, yaitu bela diri Bang Simin, dan Cik Agil. Kedua keahlian bela diri itu bukan termasuk keahlian okol dan ojung yang digemarinya. Menurut Raden Hasan Habudin Sastro Subroto keduanya (okol dan ojung) tidak termasuk bela diri, tetapi suatu permainan yang digemari masyarakat yang ada kaitannya dengan aktivitas raga manusia. Sekalipun okol dan ojung itu saat ini menjadi sejenis pertandingan olah raga, pada keduanya belum memiliki system, metode, dan kurikulum seperti pencak silat atau seni bela diri lainnya. Pemerintah penjajah Jepang mengadakan pengejaran terhadap Hasan sehinga Hasan merasa tidak tenang di Talangoh. Kemudian, upaya penyelamatan diri tetap dilakukan. Pengembaraan dilanjutkan ke sebelah timur, yaitu ke Pulau Sapudi dengan memilih Pelabuhan Gayam yang terletak dibagian selatan pulau tersebut. Di pulau Sapudi ini Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto tidak langsung mengadakan aktivitas di bidang belajar mengajar bela diri, tetapi lebih condong untuk memperkuat kerohanian.
Pulau Sapudi merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di sebelah timur Pulau Madura. Pulau Sapudi seluas satu kecamatan, di pulau ini ia berlabuh pertama kali di Pelabuhan Gayam yang berada di bagian selatan pulau. Di pulau ini pula terdapat Pegunungan Adi Podai yang menjadi leluhur Raja Madura, yaitu Jokotole. Di Pulau Sapudi, Raden Hasan Habudin Sastro Subroto menuju pegunungan untuk bertapa. Pegunungan tersebut dikenal dengan nama Pegunungan Adi Podai sebab di tempat ini tersebar legenda di tengah-tengah masyarakat Madura sebagai tempat yang dipilih oleh Pangeran Adi Podai utnuk bertapa. Masyarakat Madura mengenal Pangeran Adi Podai sebagai salah seorang tokoh penting dalam upaya penegakan harkat dan martabat kerajaan-kerajaan di Pulau Madura. Di samping itu, menurut Babad Madura, dari Pangeran Adi Podai ini lahir seorang Raja Madura yang cukup terkenal, yaitu Jokotole. Jokotole pernah menjadi raja yang berkedudukan di Sumenep. Selama di Pulau Sapudi, Hasan memilih Pegunungan Podai yang terletak di tengah-tengah Pulau Sapudi. Belum berapa lama ia tinggal di pegunungan tersebut, timbul firasat yang kurang enak, seolah-olah ia merasa ada isyarat tentang penangkapan atas dirinya oleh pemerintah penjajahan Jepan akan segera terjadi. Akhirnya diputuskan untuk meninggalkan Pegunungan Podai dan melanjutkan pengembaraan menuju ke sebelah barat, yaitu ke desa Padamaran yang berada di Pulau Sapudi juga.
Aktivitas belajar pencak kembali dilakukan di desa Padamaran, tetapi hanya berlangsung selama kurang lebih satu minggu sebab ilmu pencak yang dimiliki oleh pendekar di desa Padamaran jauh lebih rendah dari ilmu pencak yang dimilki Hasan. Pendekar di desa Padamaran ini memimpin satu padepokan tetapi nama dan jenisnya masih sulit untuk diidentifikasi. Nama pendekarnya sudah sulit diingat, disamping proses terlalu singkat, kurun waktu saat belajar hingga sekarang juga cukup lama. Didesa Padamaran ada mercusuar. Pengembaraan Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto ke desa Padamaran, disamping untuk menyelamatkan diri dari pengejaran, juga untuk belajar. Sistem belajar yang digunakan adalah sistem bodoh, maksudnya adalah bahwa sekalipun beliau sudah banyak memiliki ilmu, di bidang bela diri, pada saat belajar di salah satu padepokan, ia tetap mulai dari awal, tetapi secara teliti, hari-hati, dan cermat. Tetap diselidiki apakah ilmu bela diri yang sedang dipelajari itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada ilmu bela diri yang telah dimiliki, atau justru sebaliknya.
Dengan sikap seperti itu Hasan berulang-ulang berganti guru dan padepokan pencak. Belajar pencak silat dapat berlangsung lama atau ada pula yang berlangsung hanya sekejap. Ada yang mencapai enam bulan, bahkan ada yang berlangsung tiga hari. Keadaan ini bergantung kepada tingkat keahlian guru sebagi pendekar. Oleh sebab itu semakin banyak padepokan yang didatangi untuk belajar pencak, bertambah banyak dan bervariasi pula ilmu pencak yang dipelajari dan yang diselidiki olehnya. Dalam mempelajari pencak pada beberapa padepokan tersebut Hasan bersikap eklektis in corporatif. Maksudnya di dalam mempelajari beberapa jenis pencak, diseleksi dulu segi-segi tertentu dengan dasar pertimbangan bahwa pencak yang dipelajari itu pantas dimiliki dan dikembangkan olehnya atau tidak. Jika menurut pertimbangan pantas dimiliki dan dikembangkan pencak yang dipelajari tersebut ditekuni dan apabila tidak sesuai, itu segera ditinggalkan. Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto melanjutkan pengembaraannya menuju ke arah utara dari desa Padamaran. Pengembaraan saat ini menyusuri perbukitan di Pulau Sapudi, dan di daerah ini tidak ada pendekar. Oleh sebab itu, di daerah ini tidak terlalu lama bermukim. Pengembaraannya di Pulau Sapudi segera diakhiri dan melanjutkan ke pulau-pulau lain yang berdekatan dengan Pulau Sapudi.
Di sebelah Timur Pulau Sapudi ada pulau yang lebih kecil lagi, yaitu Pulau Raas. Di pulau ini Hasan melanjutkan pengembaraannya, setelah mengembara beberapa saat di Pulau Sapudi. Pengembaraannya ke Pulau Raas di awali dengan pendaratan di pelabuhan Katopak, yaitu tempat yang paling lazim digunakan para tamu untuk memasuki Pulau Raas. Di wilayah pesisir pulau ini tidak ada pendekar, kemudian pengembaraan dilanjutkan ke wilayah tengah pulau. Ternyata di tengah-tengah pualu ini ada padepokan. Pulau Raas terletak di sebelah timur Pulau Sapudi. Di Pulau ini Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto berlabuh di Pelabuhan Katopak. Di tenga-tengah pulau ini ternyata terdapat desa Kropok yang sekaligus menjadi nama padepokan pencak silat.
Padepokan di tengah-tengah Pulau Raas dipimpin oleh seorang kepala desa, yaitu kepala desa Kropok. Di padepokan ini seorang pendekar merangkap menjadi kepala desa, Hasan yakin bahwa hingga saat ini nama desa tersebut tetap tidak berubah. Di desa ini beliau menjadi murid di padepokan. Nama padepokan dan jenis pencak tidak menjadi pertimbangan utama, tetapi yang utama adalah belajar pencak dan memahami isinya serta sambil menyelamatkan diri dari pengejaran pemerintah penjajahan Jepang. Pengembaraan tersebut diatas merupakan proses untuk mendapatkan ilmu dan kemahiran pencak. Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto di dalam menciptakan pencak berkomposisi 30% ilmu murni, 30% praktik, dan 40% ilham. Dalam menciptakan pencak unsur ilham lebih dominan. Oleh sebab itu, ada beberapa gerakan yang sulit dicarikan rasionalnya, tetapi didalam praktik dan penggunaannya sesuai dengan kenyataannya.
Sebagaimana halnya dalam pengembaraan-pengembaraan sebelumnya, di Pulau Raas, terutama di desa Kropok, Hasan mengalami kesulitan dan cukup sengsara. Kehidupan di desa Kropok lebih sulit sehingga terpaksa Hasan sering tidur dibawah pohon bakau untuk mencari nafkah. Di samping itu di desa Kropok suasananya kurang menguntungkan karena dekat dengan kantor polisi Raas. Keadaan ini mendorong Hasan untuk mengungsi tempat tidur sebab khawatir pengejaran tetap dilakukan. Selama mengembara di Pulau Raas, Hasan berkehendak untuk bertapa di tempat pertapaan Adi Rasa (Adi Raas). Menurut legenda masyarakat Madura, Adi Rasa telah berhasil mengantarkan Jokotole ke mana-mana, dan berhasil mengantarkan Jokotole menjadi salah seorang Raja Madura yang cukup disegani.
Didalam bahasa Madura istilah raas adalah berpadanan dengan kata rasa. Istilah raas juga memiliki pada kata lain yaitu galagas. Galagas adalah sejenis rumput raksasa yang biasanya tumbuh di pinggiran air payau atau dipinggir sungai. Batang galagas dapat mencapai tinggi hampir dua meter, bahkan lebih dan apabila sudah tua biasanya berbunga putih dan berbuah. Buah galagas berbulu tebal dan mudah terbang karena dihembus angin kemarau. Sejalan dengan itu, Adi Rasa adalah Adi Raas, maksudnya adalah seorang sakti mandraguna yang menjadi penguasa utama di pulau tersebut. Pemberian nama Pulau Raas adalah identik dengan penguasa dipulau tersebut. Menurut legenda masyarakat Madura, orang sakti mandraguna tersebut bertapa diatas rumput galagas. Oleh sebab itu kehendak Hasan untuk bertapa ditempat pertapaan Adi Rasa tidak berhasil sebab, Hasan tidak dapat menemukan tempatnya.
Setelah satu bulan di desa Kropok, Hasan melanjutkan pengembaraannya ke arah timur, yaitu di desa Barakas. Di desa ini ia bertahan agak lama karena ingin mengadakan penelitian, sebab di desa Barakas ini terdapat barang-barang peninggalan milik Van der Plast. Pengembaraan Hasan di desa Barakas agak berbeda dengan pengembaraan di tempat-tempat sebelumnya. Di desa ini Hasan mulai mengajar pencak. Di samping itu ia juga belajar. Tujuan mengajar pencak  di tempat ini adalah untuk mendapatkan pemasukan. Di desa Barakas Hasan mengumpulkan orang-orang kaya untuk diajar pencak dan dari mereka Hasan menerima uang lelah ala kadarnya. Setelah terkumpul uang tersebut oleh Hasan digunakan untuk belajar pencak kepada pendekar yang dianggap lebih mahir. Pada masa silam, yaitu masa Hasan mengembara, belajar pencak silat memerlukan biaya cukup mahal. Satu gerak tangkapan memakan biaya satu ringgit. Nilai satu ringgit dapat dikurs dengan dua setengah gram emas. Jika dibandingkan dengan proses tranformasi ilmu pencak silat sekarang ini. Didalam Pencak Silat Angkatan Muda Rasio terdapat puluhan, bahkan ratusan gerak tangkapan.
Pengembaraan dari pulau ke pulau lainnya disebelah timur Pulau Madura belum selesai. Setelah beberapa waktu di desa Barakas, pengembaraan dilanjutkan ke Pulau Tonduk. Perjalanan dari Barakas, ke Pulau Tonduk harus menyeberangi selat. Di pulau ini Hasan berjumpa dengan kepala Desa Tonduk yang bernama Haji Bakri. Raden Hasan Habuddin Sastor Subroto berguru silat kepadanya. Walaupun kakinya pincang Hasan tetap berguru. Di pulau Tonduk, Hasan tidak sekedar belajar silat, tetapi juga menyepi. Menurut pengamatan Hasan, Haji Bakri memiliki ilmu yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan dirinya. Belum cukup enam bulan tinggal di Pulau Tonduk, Hasan menemui kesulitan. Di tempat ini Hasan akan diambil menantu oleh seseorang. Akan tetapi Hasan belum siap untuk menikah. Kebelumsiapan itu dikarenakan Hasan teringat pesan ayahnya. Ayahnya berpesan agar Hasan berhati-hati dengan wanita. Walaupun Hasan berguru kepada Haji Bakri belum purna, ia sudah meninggalkan Pulau Tonduk  menuju sebelah timur, yaitu Pulau Gua-Gua. Dari pulau Gua-Gua, Hasan melanjutkan pengembaraan ke wilayah utara. Di sebelah utara pulau Gua-Gua terdapat tiga pulau berjejer, yaitu Talangoh Barat, Tengah dan Talangoh Air.
Pengembaraan berakhir di Pantai Baranta
Berita kekalahan Jepang terhadap sekutu disambut gembira oleh Hasan. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi hasan segera bergegas menuju Pulau Madura. Perjalanan melalui laut dari Buleleng ke Pulau Madura memerlukan waktu beberapa hari. Pada minggu terakhir bulan Agustus 1945, Hasan kembali ke Pulau Madura dengan memilih Pelabuhan Baranta untuk berlabuh. Setelah sampai di Pulau Baranta Hasan dan kawan-kawannya menghancurkan perahu yang sudah beberapa lama digunakan. Keadaan ini terpaksa dilakukan karena Hasan telah haul “bahwa perahu ini akan dihancurkan setelah Hasan tiba kembali di Pulau Madura.
Setibanya di rumah, Hasan disambut oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, ia kehilangan kakak kandunya yang bernama R. Abdullah. Abdullah dikabarkan diculik oleh pemerintah penjajahan Jepang, tetapi tidak jelas tindakan apa yang dilakukan Jepang kepadanya. Adik kandung R. Muhammad Saleh masih hidup ia menjabat sebagai guru di Blega. Menurut Maimuna (ibu), penangkapan Abdullah terjadi pada tahun 1942. Sejak penangkapan tersebut belum ada berita mengenai Abdullah. Sebagian anggota masyarakat memberitahukan bahwa Abdullah di bawa ke Makassar oleh Jepang. Setelah kembali berkumpul dengan kedua orangtuanya di Pamekasan, itu berarti pengembaraan telah berakhir. Selama pengembaraan Hasan telah belajar silat lebih kurang 32 padepokan. Padepokan tersebut dapat digolongkan kepada antara tujuh sampai sembilan aliran. Padepokan pencak silat tidak identik dengan aliran, tetapi dapat pula terjadi nama padepokan sekaligus mencerminkan aliran. Ke-32 padepokan dan ketujuh aliran pencak silat yang berhasil dipelajari, dipahami dan diamalkan oleh Hasan merupakan cikal bakal jurus-jurus dalam Pencak Silat Angkatan Muda Rasio (PAMUR).
Menurut Hasan, setiap pesilat atau pendekar Pencak Silat Ankatan Muda Rasio tidak boleh menonjolkan diri, angkuh dan sombong. Demikian pula, Raden Hasan Habuddin Sasto Subroto sangat sederhana dan tidak menonjolkan diri. Hal itu dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari beliau. Suatu ketika, Di pendopo Kabupaten Pamekasan, saat mengadakan demonstrasi, Bupati Pamekasan dan para undangan merasa terkejut dan tertegun melihat murid Hasan berkebangsaan Belgia yang menghadiri demonstrasi tersebut begitu hormat dan patuh pada Hasan. Biasanya orang-orang Eropa merasa enggan memberi hormat kepada orang lain. Tapi hal tersebut tidak terjadi di Pendopo Kabupaten Pamekasan. Akan tetapi, Hasan tidak merasa bangga dengan penghormatan dari muridnya tersebut.
Para pendekar Pamur tidak boleh sombong dan takabur, sebab sombong dan takabur dimurkai Tuhan dan mereka akan binasa. Pada suatu ketika, Hasan melarang pendekar Pamur mendemonstrasikan kemampuan membakar diri di tengah khalayak ramai, tetapi larangan tersebut dilanggar. Akhirnya dalam acara demontrasi tersebut terjadi peristiwa yang menyedihkan, yaitu pendekar tersebut benar-benar terbakar dan meninggal dunia. Di dalam Pamur dilarang pamer kekebalan tubuh, akan tetapi tidak melarang para pendekar melatih kekebalan badan dan melatih kekuatan agar tangkas dalam membela diri. Larangan tersebut hanya berlaku jika untuk menyombongkan diri dan ria. Demikian pula para pendekar Pamur boleh mempelajari ilmu tersebut dengan dasar pemikiran untuk penyempurnaan pembelaan diri.
Pamur adalah pencak silat tangan kosong, tetapi tetap diajarkan delapan unsur senjata. Hal ini bukan berarti telah meninggalkan prinsip sebagai pencak silat tangan kosong, melainkan untuk membela diri dari senjata tajam. Apabila ada serangan bersenjata, para pendekar Pamur akan mampu menyelamatkan diri dan terhindar dari serangan tersebut. Ciri khas Pamur adalah permainan menengah, berbeda dengan ciri yang ada pada beberapa pencak silat seperti Minangkabau, Melayu, Fort De Cock, Cimande, Tanah Merah, Mandar, Bang Simin dan Cik Agil. Beberapa pencak silat tersebut telah dipelajari oleh Hasan selama kurang lebih empat tahun kecuali Bang Simin dan Cik Agil yang telah dipelajarinya di Pamekasan sebelum mengembara.
Menurut Hasan, sebagai pendiri dan pencipta silat Pamur. Pencak silat di Indonesia terdiri dari tiga mazhab, yaitu mazhab konservatif, progresif dan liberal. Atau mazhab kuno, maju dan campuran. Menurut Hasan, Pamur termasuk mazhab liberal dan mazhab campuran, lebih tepatnya mazhab liberal nasional. Contoh yang paling jelas dalam Pamur adalah jurus tongkat yang diadopsi dari tongkat Minangkabau atau Mandar. Ukuran tongkat dalam pamur setinggi bahu ditambah satu genggam pesilat yang memainkan. Adapun asal mula didirikannya pamur oleh Hasan yaitu pertama, pada suatu ketika hasan menjuarai kejuaraan pencak silat se Jawa Timur di Kediri. Penonton tahu bahwa Hasan berasal dari Pemekasan, Madura. Salah seorang penonton memuji keberhasilan Hasan, namun lainnya mencemoohkannya karena menyayangkan Hasan sebagai orang Madura belum memiliki pencak silat khas Masura. Padahal wilayah lain yang lebih kecil dari Pulau Madura telah memiliki pencak silat khas daerah tersebut.
Kedua, terdorong oleh pesan lisan Mr. Wongsonegoro (Menteri Pendidikan RI) yang pada prinsipnya minta bantuan generasi muda agar pencak silat peninggalan nenek moyang dilestarikan, beliau juga berpesan agar pencak silat itu tidak diubah-ubah sehingga kehilangan keasliannya. Mr. Wongsonegoro juga mengharapkan pencak silat tidak kalah dengan bela diri luar negeri yang pada saat itu tidak terlalu lama akan menjadi kegemaran masyarakat. Beliau juga mengharapkan agar pencak silat menjadi milik nasional dan internasional. Sebenarnya banyak yang mendorong Hasan menciptakan pencak silat sendiri. Keinginan tersebut sudah terbayang saat ia masih remaja, namun baru dapat terwujud saat setelah ia dewasa. Motivasi untuk mendirikan dan menciptakan pencak silat yang memiliki ciri khas tertentu makin terasa setelah Hasan menikah. Hasan melangsungkan pernikahan pada bulan Oktober 1945 dengan Gadis bernama Kiptiyah yang lahir pada tanggal 10 Agustus 1931.
Dari pernikahannya tersebut lahir putera-puteri sebagai berikut :
  1. R. Sudjono Arief
  2. RR. Siti Kartini BA
  3. RR. Murdiati
  4. R. Hidayat Arief
  5. RR. Siti Warninda
  6. RR. Sri Murdaningsih
  7. R. Bambang Irawan
  8. R. Hermano Adi, S.Pd.
  9. R. Syamsul Hasan A. S.Sos.
  10. RR. Elly Yawati
  11. RR. Sri Lindiana
  12. RR. Jumaati

    sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar