Dengan bermodal restu dari ayah dan Wedana Galis
berangkatlah Raden Hasan Habuddin Sastrosubroto menuju ke sebelah timur,
yaitu Kalianget. Dari Kalianget menyeberangi laut menuju pulau kecil,
yakni Talangoh. Alat transportasi yang dapat digunakan menyeberang waktu
itu hanyalah perahu-perahu kecil dengan mengandalkan layar dan tenaga
manusia. Setibanya di Talangoh, Hasan belajar bela diri. Permainan bela
diri di Talangoh ini melengkapi keahlian bela diri yang sudah
dimilikinya sejak berada di Pemekasan, yaitu bela diri Bang Simin, dan
Cik Agil. Kedua keahlian bela diri itu bukan termasuk keahlian okol dan
ojung yang digemarinya. Menurut Raden Hasan Habudin Sastro Subroto
keduanya (okol dan ojung) tidak termasuk bela diri, tetapi suatu
permainan yang digemari masyarakat yang ada kaitannya dengan aktivitas
raga manusia. Sekalipun okol dan ojung itu saat ini menjadi sejenis
pertandingan olah raga, pada keduanya belum memiliki system, metode, dan
kurikulum seperti pencak silat atau seni bela diri lainnya. Pemerintah
penjajah Jepang mengadakan pengejaran terhadap Hasan sehinga Hasan
merasa tidak tenang di Talangoh. Kemudian, upaya penyelamatan diri tetap
dilakukan. Pengembaraan dilanjutkan ke sebelah timur, yaitu ke Pulau
Sapudi dengan memilih Pelabuhan Gayam yang terletak dibagian selatan
pulau tersebut. Di pulau Sapudi ini Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto
tidak langsung mengadakan aktivitas di bidang belajar mengajar bela
diri, tetapi lebih condong untuk memperkuat kerohanian.
Pulau
Sapudi merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di sebelah timur
Pulau Madura. Pulau Sapudi seluas satu kecamatan, di pulau ini ia
berlabuh pertama kali di Pelabuhan Gayam yang berada di bagian selatan
pulau. Di pulau ini pula terdapat Pegunungan Adi Podai yang menjadi
leluhur Raja Madura, yaitu Jokotole. Di Pulau Sapudi, Raden Hasan
Habudin Sastro Subroto menuju pegunungan untuk bertapa. Pegunungan
tersebut dikenal dengan nama Pegunungan Adi Podai sebab di tempat ini
tersebar legenda di tengah-tengah masyarakat Madura sebagai tempat yang
dipilih oleh Pangeran Adi Podai utnuk bertapa. Masyarakat Madura
mengenal Pangeran Adi Podai sebagai salah seorang tokoh penting dalam
upaya penegakan harkat dan martabat kerajaan-kerajaan di Pulau Madura.
Di samping itu, menurut Babad Madura, dari Pangeran Adi Podai ini lahir
seorang Raja Madura yang cukup terkenal, yaitu Jokotole. Jokotole pernah
menjadi raja yang berkedudukan di Sumenep. Selama di Pulau Sapudi,
Hasan memilih Pegunungan Podai yang terletak di tengah-tengah Pulau
Sapudi. Belum berapa lama ia tinggal di pegunungan tersebut, timbul
firasat yang kurang enak, seolah-olah ia merasa ada isyarat tentang
penangkapan atas dirinya oleh pemerintah penjajahan Jepan akan segera
terjadi. Akhirnya diputuskan untuk meninggalkan Pegunungan Podai dan
melanjutkan pengembaraan menuju ke sebelah barat, yaitu ke desa
Padamaran yang berada di Pulau Sapudi juga.
Aktivitas
belajar pencak kembali dilakukan di desa Padamaran, tetapi hanya
berlangsung selama kurang lebih satu minggu sebab ilmu pencak yang
dimiliki oleh pendekar di desa Padamaran jauh lebih rendah dari ilmu
pencak yang dimilki Hasan. Pendekar di desa Padamaran ini memimpin satu
padepokan tetapi nama dan jenisnya masih sulit untuk diidentifikasi.
Nama pendekarnya sudah sulit diingat, disamping proses terlalu singkat,
kurun waktu saat belajar hingga sekarang juga cukup lama. Didesa
Padamaran ada mercusuar. Pengembaraan Raden Hasan Habuddin Sastro
Subroto ke desa Padamaran, disamping untuk menyelamatkan diri dari
pengejaran, juga untuk belajar. Sistem belajar yang digunakan adalah
sistem bodoh, maksudnya adalah bahwa sekalipun beliau sudah banyak
memiliki ilmu, di bidang bela diri, pada saat belajar di salah satu
padepokan, ia tetap mulai dari awal, tetapi secara teliti, hari-hati,
dan cermat. Tetap diselidiki apakah ilmu bela diri yang sedang
dipelajari itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada ilmu bela diri
yang telah dimiliki, atau justru sebaliknya.
Dengan
sikap seperti itu Hasan berulang-ulang berganti guru dan padepokan
pencak. Belajar pencak silat dapat berlangsung lama atau ada pula yang
berlangsung hanya sekejap. Ada yang mencapai enam bulan, bahkan ada yang
berlangsung tiga hari. Keadaan ini bergantung kepada tingkat keahlian
guru sebagi pendekar. Oleh sebab itu semakin banyak padepokan yang
didatangi untuk belajar pencak, bertambah banyak dan bervariasi pula
ilmu pencak yang dipelajari dan yang diselidiki olehnya. Dalam
mempelajari pencak pada beberapa padepokan tersebut Hasan bersikap
eklektis in corporatif. Maksudnya di dalam mempelajari beberapa jenis
pencak, diseleksi dulu segi-segi tertentu dengan dasar pertimbangan
bahwa pencak yang dipelajari itu pantas dimiliki dan dikembangkan
olehnya atau tidak. Jika menurut pertimbangan pantas dimiliki dan
dikembangkan pencak yang dipelajari tersebut ditekuni dan apabila tidak
sesuai, itu segera ditinggalkan. Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto
melanjutkan pengembaraannya menuju ke arah utara dari desa Padamaran.
Pengembaraan saat ini menyusuri perbukitan di Pulau Sapudi, dan di
daerah ini tidak ada pendekar. Oleh sebab itu, di daerah ini tidak
terlalu lama bermukim. Pengembaraannya di Pulau Sapudi segera diakhiri
dan melanjutkan ke pulau-pulau lain yang berdekatan dengan Pulau Sapudi.
Di
sebelah Timur Pulau Sapudi ada pulau yang lebih kecil lagi, yaitu Pulau
Raas. Di pulau ini Hasan melanjutkan pengembaraannya, setelah
mengembara beberapa saat di Pulau Sapudi. Pengembaraannya ke Pulau Raas
di awali dengan pendaratan di pelabuhan Katopak, yaitu tempat yang
paling lazim digunakan para tamu untuk memasuki Pulau Raas. Di wilayah
pesisir pulau ini tidak ada pendekar, kemudian pengembaraan dilanjutkan
ke wilayah tengah pulau. Ternyata di tengah-tengah pualu ini ada
padepokan. Pulau Raas terletak di sebelah timur Pulau Sapudi. Di Pulau
ini Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto berlabuh di Pelabuhan Katopak.
Di tenga-tengah pulau ini ternyata terdapat desa Kropok yang sekaligus
menjadi nama padepokan pencak silat.
Padepokan di
tengah-tengah Pulau Raas dipimpin oleh seorang kepala desa, yaitu kepala
desa Kropok. Di padepokan ini seorang pendekar merangkap menjadi kepala
desa, Hasan yakin bahwa hingga saat ini nama desa tersebut tetap tidak
berubah. Di desa ini beliau menjadi murid di padepokan. Nama padepokan
dan jenis pencak tidak menjadi pertimbangan utama, tetapi yang utama
adalah belajar pencak dan memahami isinya serta sambil menyelamatkan
diri dari pengejaran pemerintah penjajahan Jepang. Pengembaraan tersebut
diatas merupakan proses untuk mendapatkan ilmu dan kemahiran pencak.
Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto di dalam menciptakan pencak
berkomposisi 30% ilmu murni, 30% praktik, dan 40% ilham. Dalam
menciptakan pencak unsur ilham lebih dominan. Oleh sebab itu, ada
beberapa gerakan yang sulit dicarikan rasionalnya, tetapi didalam
praktik dan penggunaannya sesuai dengan kenyataannya.
Sebagaimana
halnya dalam pengembaraan-pengembaraan sebelumnya, di Pulau Raas,
terutama di desa Kropok, Hasan mengalami kesulitan dan cukup sengsara.
Kehidupan di desa Kropok lebih sulit sehingga terpaksa Hasan sering
tidur dibawah pohon bakau untuk mencari nafkah. Di samping itu di desa
Kropok suasananya kurang menguntungkan karena dekat dengan kantor polisi
Raas. Keadaan ini mendorong Hasan untuk mengungsi tempat tidur sebab
khawatir pengejaran tetap dilakukan. Selama mengembara di Pulau Raas,
Hasan berkehendak untuk bertapa di tempat pertapaan Adi Rasa (Adi Raas).
Menurut legenda masyarakat Madura, Adi Rasa telah berhasil mengantarkan
Jokotole ke mana-mana, dan berhasil mengantarkan Jokotole menjadi salah
seorang Raja Madura yang cukup disegani.
Didalam
bahasa Madura istilah raas adalah berpadanan dengan kata rasa. Istilah
raas juga memiliki pada kata lain yaitu galagas. Galagas adalah sejenis
rumput raksasa yang biasanya tumbuh di pinggiran air payau atau
dipinggir sungai. Batang galagas dapat mencapai tinggi hampir dua meter,
bahkan lebih dan apabila sudah tua biasanya berbunga putih dan berbuah.
Buah galagas berbulu tebal dan mudah terbang karena dihembus angin
kemarau. Sejalan dengan itu, Adi Rasa adalah Adi Raas, maksudnya adalah
seorang sakti mandraguna yang menjadi penguasa utama di pulau tersebut.
Pemberian nama Pulau Raas adalah identik dengan penguasa dipulau
tersebut. Menurut legenda masyarakat Madura, orang sakti mandraguna
tersebut bertapa diatas rumput galagas. Oleh sebab itu kehendak Hasan
untuk bertapa ditempat pertapaan Adi Rasa tidak berhasil sebab, Hasan
tidak dapat menemukan tempatnya.
Setelah satu
bulan di desa Kropok, Hasan melanjutkan pengembaraannya ke arah timur,
yaitu di desa Barakas. Di desa ini ia bertahan agak lama karena ingin
mengadakan penelitian, sebab di desa Barakas ini terdapat barang-barang
peninggalan milik Van der Plast. Pengembaraan Hasan di desa Barakas agak
berbeda dengan pengembaraan di tempat-tempat sebelumnya. Di desa ini
Hasan mulai mengajar pencak. Di samping itu ia juga belajar. Tujuan
mengajar pencak di tempat ini adalah untuk mendapatkan pemasukan. Di
desa Barakas Hasan mengumpulkan orang-orang kaya untuk diajar pencak dan
dari mereka Hasan menerima uang lelah ala kadarnya. Setelah terkumpul
uang tersebut oleh Hasan digunakan untuk belajar pencak kepada pendekar
yang dianggap lebih mahir. Pada masa silam, yaitu masa Hasan mengembara,
belajar pencak silat memerlukan biaya cukup mahal. Satu gerak tangkapan
memakan biaya satu ringgit. Nilai satu ringgit dapat dikurs dengan dua
setengah gram emas. Jika dibandingkan dengan proses tranformasi ilmu
pencak silat sekarang ini. Didalam Pencak Silat Angkatan Muda Rasio
terdapat puluhan, bahkan ratusan gerak tangkapan.
Pengembaraan
dari pulau ke pulau lainnya disebelah timur Pulau Madura belum selesai.
Setelah beberapa waktu di desa Barakas, pengembaraan dilanjutkan ke
Pulau Tonduk. Perjalanan dari Barakas, ke Pulau Tonduk harus
menyeberangi selat. Di pulau ini Hasan berjumpa dengan kepala Desa
Tonduk yang bernama Haji Bakri. Raden Hasan Habuddin Sastor Subroto
berguru silat kepadanya. Walaupun kakinya pincang Hasan tetap berguru.
Di pulau Tonduk, Hasan tidak sekedar belajar silat, tetapi juga menyepi.
Menurut pengamatan Hasan, Haji Bakri memiliki ilmu yang cukup tinggi
jika dibandingkan dengan dirinya. Belum cukup enam bulan tinggal di
Pulau Tonduk, Hasan menemui kesulitan. Di tempat ini Hasan akan diambil
menantu oleh seseorang. Akan tetapi Hasan belum siap untuk menikah.
Kebelumsiapan itu dikarenakan Hasan teringat pesan ayahnya. Ayahnya
berpesan agar Hasan berhati-hati dengan wanita. Walaupun Hasan berguru
kepada Haji Bakri belum purna, ia sudah meninggalkan Pulau Tonduk
menuju sebelah timur, yaitu Pulau Gua-Gua. Dari pulau Gua-Gua, Hasan
melanjutkan pengembaraan ke wilayah utara. Di sebelah utara pulau
Gua-Gua terdapat tiga pulau berjejer, yaitu Talangoh Barat, Tengah dan
Talangoh Air.
Pengembaraan berakhir di Pantai Baranta
Berita
kekalahan Jepang terhadap sekutu disambut gembira oleh Hasan. Tanpa
menunggu waktu lebih lama lagi hasan segera bergegas menuju Pulau
Madura. Perjalanan melalui laut dari Buleleng ke Pulau Madura memerlukan
waktu beberapa hari. Pada minggu terakhir bulan Agustus 1945, Hasan
kembali ke Pulau Madura dengan memilih Pelabuhan Baranta untuk berlabuh.
Setelah sampai di Pulau Baranta Hasan dan kawan-kawannya menghancurkan
perahu yang sudah beberapa lama digunakan. Keadaan ini terpaksa
dilakukan karena Hasan telah haul “bahwa perahu ini akan dihancurkan
setelah Hasan tiba kembali di Pulau Madura.
Setibanya
di rumah, Hasan disambut oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, ia
kehilangan kakak kandunya yang bernama R. Abdullah. Abdullah dikabarkan
diculik oleh pemerintah penjajahan Jepang, tetapi tidak jelas tindakan
apa yang dilakukan Jepang kepadanya. Adik kandung R. Muhammad Saleh
masih hidup ia menjabat sebagai guru di Blega. Menurut Maimuna (ibu),
penangkapan Abdullah terjadi pada tahun 1942. Sejak penangkapan tersebut
belum ada berita mengenai Abdullah. Sebagian anggota masyarakat
memberitahukan bahwa Abdullah di bawa ke Makassar oleh Jepang. Setelah
kembali berkumpul dengan kedua orangtuanya di Pamekasan, itu berarti
pengembaraan telah berakhir. Selama pengembaraan Hasan telah belajar
silat lebih kurang 32 padepokan. Padepokan tersebut dapat digolongkan
kepada antara tujuh sampai sembilan aliran. Padepokan pencak silat tidak
identik dengan aliran, tetapi dapat pula terjadi nama padepokan
sekaligus mencerminkan aliran. Ke-32 padepokan dan ketujuh aliran pencak
silat yang berhasil dipelajari, dipahami dan diamalkan oleh Hasan
merupakan cikal bakal jurus-jurus dalam Pencak Silat Angkatan Muda Rasio
(PAMUR).
Menurut Hasan, setiap pesilat atau
pendekar Pencak Silat Ankatan Muda Rasio tidak boleh menonjolkan diri,
angkuh dan sombong. Demikian pula, Raden Hasan Habuddin Sasto Subroto
sangat sederhana dan tidak menonjolkan diri. Hal itu dapat dilihat dalam
kehidupan sehari-hari beliau. Suatu ketika, Di pendopo Kabupaten
Pamekasan, saat mengadakan demonstrasi, Bupati Pamekasan dan para
undangan merasa terkejut dan tertegun melihat murid Hasan berkebangsaan
Belgia yang menghadiri demonstrasi tersebut begitu hormat dan patuh pada
Hasan. Biasanya orang-orang Eropa merasa enggan memberi hormat kepada
orang lain. Tapi hal tersebut tidak terjadi di Pendopo Kabupaten
Pamekasan. Akan tetapi, Hasan tidak merasa bangga dengan penghormatan
dari muridnya tersebut.
Para pendekar Pamur tidak
boleh sombong dan takabur, sebab sombong dan takabur dimurkai Tuhan dan
mereka akan binasa. Pada suatu ketika, Hasan melarang pendekar Pamur
mendemonstrasikan kemampuan membakar diri di tengah khalayak ramai,
tetapi larangan tersebut dilanggar. Akhirnya dalam acara demontrasi
tersebut terjadi peristiwa yang menyedihkan, yaitu pendekar tersebut
benar-benar terbakar dan meninggal dunia. Di dalam Pamur dilarang pamer
kekebalan tubuh, akan tetapi tidak melarang para pendekar melatih
kekebalan badan dan melatih kekuatan agar tangkas dalam membela diri.
Larangan tersebut hanya berlaku jika untuk menyombongkan diri dan ria.
Demikian pula para pendekar Pamur boleh mempelajari ilmu tersebut dengan
dasar pemikiran untuk penyempurnaan pembelaan diri.
Pamur
adalah pencak silat tangan kosong, tetapi tetap diajarkan delapan unsur
senjata. Hal ini bukan berarti telah meninggalkan prinsip sebagai
pencak silat tangan kosong, melainkan untuk membela diri dari senjata
tajam. Apabila ada serangan bersenjata, para pendekar Pamur akan mampu
menyelamatkan diri dan terhindar dari serangan tersebut. Ciri khas Pamur
adalah permainan menengah, berbeda dengan ciri yang ada pada beberapa
pencak silat seperti Minangkabau, Melayu, Fort De Cock, Cimande, Tanah
Merah, Mandar, Bang Simin dan Cik Agil. Beberapa pencak silat tersebut
telah dipelajari oleh Hasan selama kurang lebih empat tahun kecuali Bang
Simin dan Cik Agil yang telah dipelajarinya di Pamekasan sebelum
mengembara.
Menurut Hasan, sebagai pendiri dan
pencipta silat Pamur. Pencak silat di Indonesia terdiri dari tiga
mazhab, yaitu mazhab konservatif, progresif dan liberal. Atau mazhab
kuno, maju dan campuran. Menurut Hasan, Pamur termasuk mazhab liberal
dan mazhab campuran, lebih tepatnya mazhab liberal nasional. Contoh yang
paling jelas dalam Pamur adalah jurus tongkat yang diadopsi dari
tongkat Minangkabau atau Mandar. Ukuran tongkat dalam pamur setinggi
bahu ditambah satu genggam pesilat yang memainkan. Adapun asal mula
didirikannya pamur oleh Hasan yaitu pertama, pada suatu ketika hasan
menjuarai kejuaraan pencak silat se Jawa Timur di Kediri. Penonton tahu
bahwa Hasan berasal dari Pemekasan, Madura. Salah seorang penonton
memuji keberhasilan Hasan, namun lainnya mencemoohkannya karena
menyayangkan Hasan sebagai orang Madura belum memiliki pencak silat khas
Masura. Padahal wilayah lain yang lebih kecil dari Pulau Madura telah
memiliki pencak silat khas daerah tersebut.
Kedua,
terdorong oleh pesan lisan Mr. Wongsonegoro (Menteri Pendidikan RI)
yang pada prinsipnya minta bantuan generasi muda agar pencak silat
peninggalan nenek moyang dilestarikan, beliau juga berpesan agar pencak
silat itu tidak diubah-ubah sehingga kehilangan keasliannya. Mr.
Wongsonegoro juga mengharapkan pencak silat tidak kalah dengan bela diri
luar negeri yang pada saat itu tidak terlalu lama akan menjadi
kegemaran masyarakat. Beliau juga mengharapkan agar pencak silat menjadi
milik nasional dan internasional. Sebenarnya banyak yang mendorong
Hasan menciptakan pencak silat sendiri. Keinginan tersebut sudah
terbayang saat ia masih remaja, namun baru dapat terwujud saat setelah
ia dewasa. Motivasi untuk mendirikan dan menciptakan pencak silat yang
memiliki ciri khas tertentu makin terasa setelah Hasan menikah. Hasan
melangsungkan pernikahan pada bulan Oktober 1945 dengan Gadis bernama
Kiptiyah yang lahir pada tanggal 10 Agustus 1931.
Dari pernikahannya tersebut lahir putera-puteri sebagai berikut :
- R. Sudjono Arief
- RR. Siti Kartini BA
- RR. Murdiati
- R. Hidayat Arief
- RR. Siti Warninda
- RR. Sri Murdaningsih
- R. Bambang Irawan
- R. Hermano Adi, S.Pd.
- R. Syamsul Hasan A. S.Sos.
- RR. Elly Yawati
- RR. Sri Lindiana
- RR. Jumaatisumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar