Senin, 12 November 2012

pencak silat cikalong jawa barat

Asal Usul
Cianjur adalah sebuah kabupaten yang secara administratif termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Di sana, tepatnya di daerah Cikalong ada sebuah seni bela diri yang disebut “Pencak Silat Cikalong”. Nama pencak silat itu sangat erat kaitannya dengan salah seorang warganya yang bernama Raden Jayaperbata yang kemudian dikenal sebagai Haji Ibrahim. Ia adalah orang yang pertama kali memperkenalkan pencak silat itu. Oleh karena ia berasal atau bertempat tinggal di Cikalong, maka pencak silat yang diciptakannya dinamai “Pencak Silat Cikalong”.

Konon, ketika itu (dimasanya) pencak silat merupakan salah satu permainan tradisional yang sangat disukai oleh para pembesar Cianjur. Bahkan, merupakan kewajiban bagi mereka untuk mempelajarinya, termasuk Raden Haji Ibrahim. Ketika itu yang banyak dipelajari adalah pencak silat aliran Cimande karena Abah Kahir (guru pencak silat Cimande) dapat mengalahkan jagoan dari Macao pada masa Dalem Noh. Raden Haji Ibrahim sendiri adalah sosok orang yang tidak puas dengan apa yang dimiliki. Meskipun sudah mempelajari silat Cimande, ia selalu ingin menambah pengetahuan silatnya. Konon, ia sudah pernah belajar di 17 perguruan silat. Namun demikian, belum puas juga hingga suatu saat ia pergi ke Betawi (Jakarta) dan berguru silat di sana. Di Betawi, ia tidak hanya belajar pada seorang guru tetapi ada tiga orang, yaitu: Bang Mahkrup, Bang Kari, dan Bang Madi. Hal itu membuat ilmu silatnya semakin tinggi. Bahkan, dapat dikatakan sempurna. Namun demikian, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya, yaitu dari berbagai ilmu silat yang dipelajarinya semuanya bersifat menyerang dan membunuh lawan. Dan, ini tidak sesuai dengan peri kemanusiaan. Apalagi, mengingat kedudukannya sebagai ulama. Untuk itu, dengan bekal ilmu silat yang dikuasainya, ia mencoba merekayasa untuk menciptakan pencak silat yang sifatnya untuk bela diri dan silaturahmi. Hasilnya adalah pencak silat sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu pencak silat Cikalong.

Jurus-jurus Pencak Silat Cikalong
Untuk dapat melakukannya jurus-jurus silat Cikalong dengan baik, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) posisi, waktu, alat, jangkauan, gerakan, dan sasaran harus benar dan tepat; (2) berusaha untuk dekat dengan lawan; dan (3) gerakan untuk menghindar. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah keterangan dari ketiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, posisi, waktu, alat, jangkauan, gerakan, dan sasaran harus benar dan tepat. Sebab, jika tidak benar dan tepat hasilnya tidak maksimal (tidak seperti yang diinginkan). Kedua, dasar pencak silat Cikalong adalah permainan rasa dengan memanfaatkan atau menyalurkan tenaga lawan. Untuk dapat melaksanakannya dengan baik, maka pesilat Cikalong harus berusaha sedekat mungkin (menempel) pada lawan. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka dalam pencak silat Cikalong dikenal beberapa istilah, seperti: ameng tampelan, tatapelan atau usik-usikan. Jenis tenaga rasa banyak macamnya bergantung pada daya dan kegunaan. Jadi, bisa dari pangkal lengan, telapak kaki, jari-jari, dan anggota tubuh lainnya. Pemukulan misalnya, dalam seni beladiri tradisional lainnya (selain silat Cikalong) biasanya tenaga telah diisi pada awal pemukulan, sehingga jika luput (tidak mengenai sasaran) si pemukul akan terbawa oleh tenaganya sendiri. Akan tetapi, dalam silat Cikalong tenaga tidak dimulai pada awal pemukulan, melainkan pada saat mengenai sasaran. Jika pukulan tertahan oleh lawan, maka tenaga secepatnya ditarik kembali dan dikosongkan (seperti semula). Ketiga, setiap tekanan yang terasa oleh pesilat Cikalong harus secapatnya dinetralisir (biasanya secara reflek karena sudah menguasai rasa). Sebagai catatan, dalam pencak silat Cikalong tidak ada ibing penca (permainan silat yang hanya berupa pengantar). Akan tetapi, langsung berisi karena sifat pencak silat ini ringkas dan gesit. Oleh karena itu, tidak selaras dengan gendang pencak. Jadi, jika para pesilat mesti melakukan ibing, maka ibing yang dilakukan adalah ngibing pencak Cimande. Sehubungan dengan itu, Tim Seksi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur (2002) mengatakan bahwa ibing Cikalong yang ada sekarang ini sebenarnya hanya bukan bagian dari pencak silat Cikalong yang asli. Dan, kondisi inilah yang sering menimbulkan kesalah-pahaman.

Fungsi dan Nilai Budaya
Fungsi pencak silat yang disebut sebagai Cikalong ini adalah sebagai seni bela diri dan sekaligus kesehatan. Sedangkan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain adalah: kesabaran, kecermatan dan ketangkasan. Nilai kesabaran tercermin dari penguasaan rasa yang tentunya tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dipelajari segara gigih dan penuh dengan kesabaran. Nilai kecermatan dan ketangkasan tercermin ketika harus melakukan gerakan-gerakan yang benar dan tepat.

Kondisi Dewasa Ini
Di masa lalu pencak Cikalong banyak penggemarnya, terutama di kalangan anak-anak muda. Namun, dewasa ini ada kecenderungan mulai ditinggalkan. Hal itu tercermin dari jarang tampilnya di berbagai kegiatan, baik dalam rangka perhelatan perorangan, masyarakat maupun dalam rangka memperingati hari-hari besar nasional (17 Agustusan). Salah satu faktor penyebabnya adalah enggannya generasi muda untuk mempejarinya, sementara para pesilatnya, khususnya guru-gurunya, semakin uzur. Malahan, beberapa diantara telah meninggal dunia. Umumnya generasi muda lebih menyukai permainan dan atau kesenian lain yang lebih mudah dipelajari. (gufron)

SUMBER:

Sabtu, 10 November 2012

Kumpulan sebagian lambang silat indonesia





















SEJARAH PENCAK SILAT CIMANDE

Asal Usul Silat Cimande

Tak jauh di tepian sungai Mande sebuah keluarga pedagang bernama Khair hidup tinggal temtram dan damai. Di suatu hari istrinya pergi kesungai untuk melakukan kegiatan sehari-hari mencuci pakaian, makanan dan membuang hajat. Di saat istrinya mencuci pakaian di seberang tampak segerombolan monyet memungut buah kupak di tepian sungai, selang waktu kemudian datang seekor macan (maung) di tempat yang sama.
Monyet-monyet itu merasa terusik kenyamanannya dengan kedatangan macan, monyet-monyet itu menjerit jerit mengeluarkan suara sekeras-kerasnya. Suasana itu mengejutkan istri Kahir untuk memperhatikan keadaan , kemungkinan apa yang terjadi.
Macan itu marah mengaung dan menyerang ke arah monyet dengan tangannya yang kekar tetapi monyet yang bertubuh kecil itu, merasa tidak takut, meloncat dengan berkelid kembali menyerang dengan mengigit di bagian perut macan. Macan menggeliat kembali melakukan serangan- serangan namun tidak menyentuh tubuh monyet. Sebaliknya monyet yang lain dengan meggunakan tangkai kayu, mencoba mengganggu macan agar supaya marah dan menyerangnya kembali. Pada saat yang sama monyet kembali berkelit dan mengigitnya.
Kejadian ini detik demi detik diperhatikan dan diamati oleh Ibu Khair direnungkan kembali teknik perkelaian itu. Sebagai akibatnya pekerjaannya tertinggal tidak terselesaikan tepat waktu, sehingga Ibu Khair kembali ke rumah terlambat dan belum memasak makanan siang. Keterlambatan memasak ini membuat Pak Khair marah terhadap istrinya tak mau mengerti . Istrinya mencoba menjelaskan tetapi suaminya marah dengan menempeleng istrinya, dengan gerakan cepat berkelid , serangan itu dapat dihindari.Kemarahan yang tidak terkontrol itu meluap-luap dilakukan dengan pukulan demi pukulan namun tak berhasil menyentuh istrinya, cukup diatasi dengan gerakan kelid.
Pak Kaher nafasnya terengah-engah, bertanya kepada istrinya: “Di mana kamu belajar maen poho?” (artinya “menipu gerakan” dipersingkat menjadi “maempo”). Istrinya menjelaskan kepada suaminya , dia terlambat kembali dari sungai disebabkan lama sedang asik menikmati perkelaian (maung) macan dan monyet. Sejak itu Khair bertanya-tanya bagaimana gerakan tadi, istrinya dengan rajin memberikan contoh gerakan kelid.
Khair dengan cermat memulai memikirkan menjadi gerakan perkelaian yang kini dikenal dengan nama “jurus kelid pamonyet”, monyet menyerang dengan tangkai kayu menjadi “jurus pepedangan” dan serangan tangan yang kokoh dikenal”jurus pamacan”.
Karena posisi macan sewaktu menyerang monyet kedua kakinya sedang berada di posisi duduk dan monyet menggunakan posisi kuda-kuda rendah, maka latihan dasar Cimande pertama-tama jurus kelid dimulai dari posisi macan yaitu duduk dan tingkat berikutnya mulai latihan dari posisi berdiri dengan kuda-kuda pamonyet(rendah). Berikutnya teknik mempo’ ini terus dikembangkan oleh Khair dan masyarakat setempat memberikan nama maenpo’ Cimande.

SUMBER:
http://nasikhulamin.wordpress.com/2011/10/21/sejarah-pencak-silat-cimande/ 

silat minangkabau

Drs.Mid Jamal, mengenang jasa dan karyanya.
Tulisan ini sengaja kubuat dengan tujuan untuk mengenang beliau yang bagiku ialah layak untuk diangkat, berdasarkan tulisannya tersebut. Yang telah memancing diriku untuk hadir dan bersilaturrahmi kepada beliau di Padang Panjang pada sekitar tahun 1991.

Dan bersyukur Alhamdulillah, atas keinginanku selanjutnya, aku diterima sebagai murid beliau .. seringkali mengingat akan hal ini diriku selalu terharu..
semoga kiranya beliau yang sudah almarhum, atas jasa dan karyanya diterima di sisi Allah SWT.. amin.

Dan selanjutnya sebagai bahan tulisan pada thread ini..
aku ambilkan dan jujur saja aku copy paste dari buku karangan beliau , yakni : Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau. Penerbit CV. Tropic Bukittinggi. pada tahun 1986.

Drs. Mid Jamal, dilahirkan di Padang pada tanggal 1 September 1933.
Banyak menulis hasil-hasil penelitian tentang seni tari, terutama dalam bidang Pencak Silat, Tari Pasambahan, dan juga tulisan-tulisan yang bersifat ilmiah yang tidak tersiar (dalam pemakaian/koleksi sendiri).

Pertama kali menulis karangan yang tersiar sebagai hasil pengalamannya dan rangkuman penelitian tentang adat istiadat dan Tambo Minangkabau.

Diantara karyanya yang spektakuler ialah buku dengan judul "Filsafat dan Silsilah Aliran-aliran Silat Minangkabau".  Merupakan karya penggalian tentang kebenaran mitos yang selama ini terbenam dalam lumpur mitologi. Namun bagi beliau, menganggap mitologi ialah ilmu yang dimiliki bangsa Timur umumnya dan Indonesia khususnya, ialah bukan suatu dongeng tanpa alasan.

Akan tetapi itulah kebenaran yang sukar dianalisis bagi mereka yang awam dalam bidang ilmu tersebut. Alasan-alasan yang diberikan akan menarik bagi pembaca dan semoga bisa dijadikan bahan perbandingan bagi Ilmu Seni Beladiri.

Beliau pada tahun 1968 mendapatkan gelar Sarjana dalm Ilmu Publisistik Universitas Ibnu Khaldoun dan lulus ujian Gradual Universitas Indonesia di Jakarta tahun 1969.

Dalam bidang pendidikan telah memiliki Akta Mengajar V , dari Ditjen DiktiDepdikbud tahun 1983.


selanjutnya, aku ungkap yang sekiranya penting sebagai bahan informasi bagi sahabatsilat sekalian (mohon maaf sekdar cuplikan dari buku tersebut)

inilah bagian pertama dari isi buku tersebut:

KATA PENGANTAR

Buku "Silsilah Alira-Aliran Silat Minangkabau" ini diterbitkan bersumber dari rangkuman pengalaman  penulis secara langsung dalam bidang persilatan tradisional Minangkabau, yang dicampungi semenjak berumur lebih kurang 13 tahun sampai umur 51 tahun; berikut dengan ilmu-ilmu penunjangnya, seperti pengajian dan wirid-wirid yang dipersiapkan untuk ke lapangan/SASARAN SILAT. Disamping itu berupa hasil-hasil penelitian di beberapa daerah Sumatera Barat sejak tahun 1972 sampai tahun 1982, yaitu di :

Kabupaten Padang-Pariaman, Pesisir Selatan, Pasaman, Sawahlunto/Sijunjung, Solok, Limapuluh Kota, Agam, dan Tanah Datar. ke daerah-daerah luar Propinsi Sumatera Barat, seperti Kabupaten Kerinci (Jambi), dan Kabupaten Serang Banten (Ujungkulon Jawa Barat).

Daftar kepustakaan yang dipergunakan untuk melengkapi bahan-bahan perbandingan dan penunjang pengalaman dan penelitian dimaksud, agar terlukis kupasan yang dapat meyakinkan para ilmuwan terhadap kebudayaan yang masih dimiliki suku Minangkabau sampai hari ini.

Dibukanya pengalaman dan hasil penelitian ini terdorong oleh keadaan yang sangat menyedihkan tentang Ilmu Silat Minangkabau, karena kian hari orang tua-tua pendukung karya nenek moyang semakin tiada di permukaan bumi ini dan bertambah langkanya sumber-sumber yang patut disauk kepandaian ilmunya.

dst....

Maka buku ini diharapkan untuk dipergunakan sebagai bahan-bahan pertimbangan dan pemupukan peninggalan-peninggalan Ilmu atau Seni Silat Tradisonal Daerah Minangkabau yang telah langka itu. Mudah-mudahan secara positif generasi penerus tidak akan jemu-jemu mencintai hasil budaya yang masih berserakan di persada Ibu Pertiwi, dan tidak terpesona dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain

Padang Panjang, 10 Nopember 1985

Drs. MID. Jamal.


PENDAHULUAN

Silat Minangkabau atau disingkat dengan "Silat Minang" pada prinsipnya sebagai salah kenudayaan khas yang diwariskan o;eh nenek moyang Minangkabau sejak berada di bumi Minangkabau.

Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat, ternyata Silat Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama "Datuk Suri Diraja" ; dipanggilkan dengan "Ninik Datuk Suri Diraja" oleh anak-cucu sekarang.

Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).

Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar  adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)

Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : "Menyigi Tambo Alam Minangkabau" (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.

Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang Cendekiawan yang dikatakan "lubuk akal, lautan budi" , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).

Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.

Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang: "Mamak Runah") dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb.  Oleh karena itu pula "Mamak kandung" dari Datuk Nan Baduo.

Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.

Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek moyang yang pertama itu bernama "DAPUNTA HYANG". ( Mid.Jamal, 1984:35).

Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.

Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti "Kedukan Bukit" tahun 683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi. dimaksud untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/ dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : " Manalap Sidhayatra" (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan "Minanga Tamwan" atau "Minanga Kabwa".

Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.
Asal usul Silat Minangkabau

Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi.

Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan.

Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu isinya dongeng itu adalah hak mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu dongeng, merupakan cerita-cerita kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo Minangkabau itu Mitologis, hal itu sangat beralasan, karena masih berada dalam lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya kata "Logy". Hanya saja pembuktian mitology berdasarkan keyakinan, yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan, karena banyak obyeknya bukan material; melainkan "SPIRITUAL". walaupun demikian, setiap orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu "kebenaran" , sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang dimilikinya ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala benda-benda sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula mitologi juga mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya. Bukti-bukti sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh mata batin.  Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. demikian juga bakteri yang sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi "teluh" tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat dilihat oleh mata batin melalui "makrifat".

Karenanya mengukur dan menilai Tambo tidak akan pernah ditimbang dengan ilmu sejarah dan tak akan pula pernah tercapai. Justeru karena itu mengukur Tambo dan sekaligus menilainya hanya dengan alat yang tersendiri pula, yaitu dengan keyakinan yang berdasarkan kenyataan yang tidak dapat didustakan oleh setiap pendukung kebudayaan Minangkabau.

Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha.  Raja Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) "sudah menganut agama Islam". Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa dirugikan oleh "hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah" (MID.Jamal, 1984:60-61).   Karena itu keturunan para pengawal kerajaan Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun.  Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam Minangkabau.  Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nene moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo.  Dengan perkataan lain, meskipun setiap pengawal , misalnya "Kucieng Siam" memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknyapun jadi baru.  Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.

Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode dll bagi silat Minang, yaitu " Langkah Tigo " , " Langkah Ampek " ,  dan " Langkah Sembilan ".  Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.

Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga "kepandaian batiniyah yang disebut GAYUENG". (I.Dt Sangguno Dirajo, 1919:22)

1.  Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :

a. Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
b. Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
c. Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan

Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran " Sajangka dua jari " .

2.  Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut "Gayueng" dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua, yaitu gayueng angin.  Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :

1. Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat2 semacam paku dan jarum, pisau kecil dll.

2. Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.

3. Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali

4. Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka

Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah " PANARUHAN " atau simpanan.  Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan.  tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah  Minang : " Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik" diberikan kepada Sang Guru.

A. PENDIDIKAN SILAT DI MINANGKABAU

Bahan baku silat ialah gerak. Arti gerak dalam silat merupakan kombinasi pengertian dari segala macam ilmu pengetahuan manusia, baik sasaran lahiriah maupun batiniah

dst..... ( maaf tidak dilanjut, semakin kental dgn  batiniahnya)

B.  PENYEBARAN SILAT MINANGKABAU

............. dst.......... ( edit satu halaman .. sorry )

Dimasa itu terkenal empat angkatan barisan pertahanan dan keamanan di bawah pimpinan Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Hutan, dan Anjieng Mualim; ke empatnya merupakan murid-murid Ninik Datuk Suri Dirajo.

Sewaktu Datuk Nan Batigo membentuk Luhak Nan Tigo (1186 M ) dan membuka tanah Rantau (mula-mula didirikan Kerajaan Sungai Pagu 1245 M, ketika itu Raja Alam Pagaruyung, ialah Rum Pitualo, cicit dari Putri Jamilah atau kemenakan cicit dari Datuk Ketumanggungan), maka para pemimpin rombongan yang pindah membawa penduduk, adalah anggota pilihan dari barisan pertahanan dan keamanan kerajaan.

1. Untuk rombongan ke Luhak Tanah Datar, pimpinan rombongan ialah anggota barisan Kucieng Siam.

2. Untuk rombongan ke Luhak Agam, dipimpin oleh barisan Harimau Campo.

3. Untuk rombongan ke Luhak Limapuluh-Payakumbuh, dipimpin oleh anggota barisan  Kambieng Hutan.

4.  Untuk rombongan ke Tanah Rantau dan Pesisir dipimpin oleh anggota barisan Anjieng Mualim.

...... dst....

Setiap angkatan/barisan atau pasukan telah memiliki ilmu silat yang dibawa dari Pariangan. Dengan ilmu silat yang dimiliki masing-masing angkatan, ditentukan fungsi dan tugas-tugasnya, pemberian dan penentuan fungsi/tugas oleh Sultan Sri Maharaja Diraja berdasarkan ketentuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa mendatangi Swarna Dwipa ini dahulunya.       

.... dst...

Fungsi dan tugas yang dipikul masing-masing rombongan itu diperjelas sbb:

1. Barisan pengawal kerajaan , Anjieng Mualim berfungsi sebagai penjaga keamanan
2. Barisan Perusak, Kambieng Hutan berfungsi sebagai destroyer atau zeni
3. Barisan Pemburu, Harimau Campo berfungsi sebagai Jaguar atau pemburu
4. Barisan Penyelamat, Kucieng Siam berfungsi sebagai anti huru-hara.

..... dst.......

1. Aliran Silat Kucieng Siam:

Sekarang nama Kucieng Siam menjadi lambang daerah Luhak Tanah Datar....

Bentuk dan sifat silat negeri asal Kucin Cina-Siam :
peranan kaki (tendangan) menjadi ciri khasnya. Tangan berfungsi megalihkan perhatian lawan serta memperlemah daya tahan lawan.

2. Aliran Silat Harimau Campo:

Lambang Harimau Campo diberikan kepada Luhak Agam.

Bentuk dan sifat gerakannya:
ialah menyerupai seperti sifat harimau, keras, menyerang tanpa kesabaran alias langsung menerkam. mengandalkan kekuatannya pada tangan.

3. Aliran silat Kambieng Hutan :

Luhak Limapuluh-Payokumbuh mendapatkan lambang tersebut.

Bentuk dan sifat gerakannya:
banyak menampilkan gerak tipu, selain menggunakan tangan juga disertai dengan sundulan/dorongan menggunakan kepala dan kepitan kaki.

4. Aliran Silat Anjieng Mualim :

diberikan kepada Tanah Rantau-Pesisir adalah daerah-daerah di sekitar lembah-lembah sungai dan anak sungai dari pegunungan Bukit Barisan.

Bentuk dan sifat gerakannya:
a. bentuk penyerangan dengan membuat lingkaran
b. bentuk pertahanan dengan tetap berada dalam lingkaran.
bentuk-bentuk gerakan ini menimbulkan gerak-gerak yang menjurus kepada empat penjuru angin, sehingga dinamakan jurus atau "langkah Empat".
dari sinilah permulaan Langkah Ampek dibentuk oleh Ninik Datuk Suri Diraja.

..... dst...

jadi silat Minang mempunyai dua macam persilatan yang menjadi inti yang khas:

Langkah Tigo ( Kucieng Siam ) dan Langkah Ampek ( Anjieng Mualim ).

kemudian selanjutnya langkah tersebut berkembang menjadi Langkah Sembilan.
Langkah Sembilan selanjutnya tidak lagi disebut sebagai SILAT, namun sudah berubah dengan nama PENCAK (Mencak)

.... dst...


SILAT LANGKAH TIGO

Silat Langkah Tigo ( langkah tiga ) pada asalnya milik Kucieng Siam, Harimau Campo, dan Kambieng Hutan; yang secara geografis berasal dari daratan Asia Tenggara. Akan tetapi setelah berada di Minangkabau disesuaikan dengan kepribadian yang diwarnai pandangan hidup, yaitu agama Islam.

Di masa itu agama Islam belum lagi secara murni di amalkan, karena pengaruh kepercayaan lama dan pelbagai filsafat yang dianut belum terkikis habis dalam diri mereka.

Namun dalam ilmu silat pusaka yang berbentuk Langkah Tigo dan juga dinamakan Silek Tuo, mulai disempurnakan dengan mengisikan pengkajian faham dari berbagai aliran Islam.

Memperturunkan ilmu silat tidak boleh sembarangan. Faham Al Hulul / Wihdatul Wujud memegang peranan, terutama dalam pengisian kebatinan ( silat batin ).  Tarekat ( metode ) pendidikan Al Hallaj yang diwarnai unsur-unsur filsafat pythagoras yang bersifat mistik menjadi pegangan bagi guru-guru silat untuk tidak mau menurunkan ilmu silat kepada sembarangan orang.

Angka 3 sebagai "hakikat" menjadi rahasia dan harus disimpan. Untuk menjamin kerahasiaannya, maka ilmu silat tidak pernah dibukukan. Dalam pengalaman dan penelitian yang dilakukan kenyataan menunjukkan, bahwa amanat " suatu pengkajian yang bersifat rahasia " itu sampai kini masih berlaku bagi orang tua-tua Minangkabau.

kalau sekarang, rahasia itu dinyatakan dalam berbagai dalih, misalnya :

a. akan menimbulkan pertentangan nantinya dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat awam.

b. akan mendatangkan bahaya sebagai akibat " Tasaluek dek kaji " , seperti: gila.

c. dan sebagainya.

Dalam hubungan ini penulis sendiri ( yakni bpk Mid.Jamal ) , kurang sependapat dengan alasan orang tua-tua yang kita mulyakan itu, mengingat kian langkanya pusaka budaya itu.  Masalah adanya perbedaan kaji dengan masyarakat awam bukanlah alasan yang rumit.

..... dst....

semata-mata untuk kepentingan ilmu juga maka dalam tulisan ini mencoba bukakan sekelumit rahasia budaya pusaka dari nenek moyang kita, agar jangan sampai punah secara total.

Langkah Tigo dalam silat Minang, didalamnya terdapat gerak-gerak yang sempurna untuk menghadapi  segala kemungkinan yang dilakukan lawan. Perhitungan angka tiga disejalankan dengan wirid dan latihan, inipun tidak semua orang dapat memahami dan mengamalkannya karena mistik.

Kaifiat atau pelaksanaannya dilakukan secara konsentrasi sewaktu membuat langkah tigo. setiap langkah ditekankan pada " Alif, Dal, Mim "

Tagak Alif, Pitunggue Adam, Langkah Muhammad


Tagak Alif :
Tegak Allah, Kuda-kuda bagi Adam, Kelit dari Muhammad, Tangkapan oleh Ali, dan tendangan beserta Malaikat. ( sandi kunci bergerak )

..... dst.....

SILAT LANGKAH AMPEK

Pembentukan Silat Langkah Ampek oleh Ninik Datuk Suri Diraja di Pariangan serentak dengan Silat Langkah Tigo. Silat Langkah Ampek, berasal dari gerak-gerak silat Anjieng Mualim dan pengawasannya turun temurun juga diserahkan pada Harimau Campo, yang dapat menjelma bila disalahi membawakannya.

Oleh karena si penciptanya telah menyeragamkan bentuk dan metode serta pengisiannya. maka silat Langkah Ampek pun dimulai dengan Tagak Alif. Perbedaannya terletak pada perhitungan angka yaitu 4, sebagai angka istimewa (ingat mistik Pythagoras). Walaupun bersifat mistik dan sukar dipahami bagi awam, namun bagi Pesilat sangat diyakini kebenarannya.

Sewaktu membuka Langkah Ampek dilakukan konsentrasi pada Alif, Lam, Lam, Hu.

dst.....

Langkah Sembilan
Perhitungan langkah dalam Silat Minang yang terakhir adalah sembilan. Dari mana datangnya angka sembilan.  Dalam pengkajian silat dinyatakan sebagai berikut: Langkah 3 + Langkah 4 = langkah 7.  Itu baru perhitungan batang atau tonggaknya. Penambahan 2 langkah adalah :

-Tagak Alif gantung dengan penekanan pada " Illa Hu " ini diartikan satu langkah.

-Mim Tasydid dalam kesatuan Allah dan Muhammad, gerak batin yang menentukan, berarti satu langkah.

Menurut faham Al Hulul bahwa apabila yang Hakikat menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya dalam realitasNya yang penuh; itulah keindahan.

Pesilat itu adalah seniman dan seorang seniman adalah orang yang tajam dan tilik pandangannya, yang dapat melihat keindahan Ilahi dalam dirinya. (Gazalba,IV/1973:527)

Silat Langkah sembilan biasanya dibawakan sebagai "Pencak" (Minangkabau: Mencak), artinya : Menari.  Dalam kata majemuk "Pencak-Silat" dimaksudkan "Tari Silat".

Langkah Sembilan memperlihatkan pengembangan gerak-gerak ritmis, dengan tidak meninggalkan unsur-unsur gerak silat.

dst...


selesai

sumber:
http://boim05.multiply.com/journal/item/57?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem 

PAMUR

Dengan bermodal restu dari ayah dan Wedana Galis berangkatlah Raden Hasan Habuddin Sastrosubroto menuju ke sebelah timur, yaitu Kalianget. Dari Kalianget menyeberangi laut menuju pulau kecil, yakni Talangoh. Alat transportasi yang dapat digunakan menyeberang waktu itu hanyalah perahu-perahu kecil dengan mengandalkan layar dan tenaga manusia. Setibanya di Talangoh, Hasan belajar bela diri. Permainan bela diri di Talangoh ini melengkapi keahlian bela diri yang sudah dimilikinya sejak berada di Pemekasan, yaitu bela diri Bang Simin, dan Cik Agil. Kedua keahlian bela diri itu bukan termasuk keahlian okol dan ojung yang digemarinya. Menurut Raden Hasan Habudin Sastro Subroto keduanya (okol dan ojung) tidak termasuk bela diri, tetapi suatu permainan yang digemari masyarakat yang ada kaitannya dengan aktivitas raga manusia. Sekalipun okol dan ojung itu saat ini menjadi sejenis pertandingan olah raga, pada keduanya belum memiliki system, metode, dan kurikulum seperti pencak silat atau seni bela diri lainnya. Pemerintah penjajah Jepang mengadakan pengejaran terhadap Hasan sehinga Hasan merasa tidak tenang di Talangoh. Kemudian, upaya penyelamatan diri tetap dilakukan. Pengembaraan dilanjutkan ke sebelah timur, yaitu ke Pulau Sapudi dengan memilih Pelabuhan Gayam yang terletak dibagian selatan pulau tersebut. Di pulau Sapudi ini Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto tidak langsung mengadakan aktivitas di bidang belajar mengajar bela diri, tetapi lebih condong untuk memperkuat kerohanian.
Pulau Sapudi merupakan salah satu pulau kecil yang terletak di sebelah timur Pulau Madura. Pulau Sapudi seluas satu kecamatan, di pulau ini ia berlabuh pertama kali di Pelabuhan Gayam yang berada di bagian selatan pulau. Di pulau ini pula terdapat Pegunungan Adi Podai yang menjadi leluhur Raja Madura, yaitu Jokotole. Di Pulau Sapudi, Raden Hasan Habudin Sastro Subroto menuju pegunungan untuk bertapa. Pegunungan tersebut dikenal dengan nama Pegunungan Adi Podai sebab di tempat ini tersebar legenda di tengah-tengah masyarakat Madura sebagai tempat yang dipilih oleh Pangeran Adi Podai utnuk bertapa. Masyarakat Madura mengenal Pangeran Adi Podai sebagai salah seorang tokoh penting dalam upaya penegakan harkat dan martabat kerajaan-kerajaan di Pulau Madura. Di samping itu, menurut Babad Madura, dari Pangeran Adi Podai ini lahir seorang Raja Madura yang cukup terkenal, yaitu Jokotole. Jokotole pernah menjadi raja yang berkedudukan di Sumenep. Selama di Pulau Sapudi, Hasan memilih Pegunungan Podai yang terletak di tengah-tengah Pulau Sapudi. Belum berapa lama ia tinggal di pegunungan tersebut, timbul firasat yang kurang enak, seolah-olah ia merasa ada isyarat tentang penangkapan atas dirinya oleh pemerintah penjajahan Jepan akan segera terjadi. Akhirnya diputuskan untuk meninggalkan Pegunungan Podai dan melanjutkan pengembaraan menuju ke sebelah barat, yaitu ke desa Padamaran yang berada di Pulau Sapudi juga.
Aktivitas belajar pencak kembali dilakukan di desa Padamaran, tetapi hanya berlangsung selama kurang lebih satu minggu sebab ilmu pencak yang dimiliki oleh pendekar di desa Padamaran jauh lebih rendah dari ilmu pencak yang dimilki Hasan. Pendekar di desa Padamaran ini memimpin satu padepokan tetapi nama dan jenisnya masih sulit untuk diidentifikasi. Nama pendekarnya sudah sulit diingat, disamping proses terlalu singkat, kurun waktu saat belajar hingga sekarang juga cukup lama. Didesa Padamaran ada mercusuar. Pengembaraan Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto ke desa Padamaran, disamping untuk menyelamatkan diri dari pengejaran, juga untuk belajar. Sistem belajar yang digunakan adalah sistem bodoh, maksudnya adalah bahwa sekalipun beliau sudah banyak memiliki ilmu, di bidang bela diri, pada saat belajar di salah satu padepokan, ia tetap mulai dari awal, tetapi secara teliti, hari-hati, dan cermat. Tetap diselidiki apakah ilmu bela diri yang sedang dipelajari itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada ilmu bela diri yang telah dimiliki, atau justru sebaliknya.
Dengan sikap seperti itu Hasan berulang-ulang berganti guru dan padepokan pencak. Belajar pencak silat dapat berlangsung lama atau ada pula yang berlangsung hanya sekejap. Ada yang mencapai enam bulan, bahkan ada yang berlangsung tiga hari. Keadaan ini bergantung kepada tingkat keahlian guru sebagi pendekar. Oleh sebab itu semakin banyak padepokan yang didatangi untuk belajar pencak, bertambah banyak dan bervariasi pula ilmu pencak yang dipelajari dan yang diselidiki olehnya. Dalam mempelajari pencak pada beberapa padepokan tersebut Hasan bersikap eklektis in corporatif. Maksudnya di dalam mempelajari beberapa jenis pencak, diseleksi dulu segi-segi tertentu dengan dasar pertimbangan bahwa pencak yang dipelajari itu pantas dimiliki dan dikembangkan olehnya atau tidak. Jika menurut pertimbangan pantas dimiliki dan dikembangkan pencak yang dipelajari tersebut ditekuni dan apabila tidak sesuai, itu segera ditinggalkan. Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto melanjutkan pengembaraannya menuju ke arah utara dari desa Padamaran. Pengembaraan saat ini menyusuri perbukitan di Pulau Sapudi, dan di daerah ini tidak ada pendekar. Oleh sebab itu, di daerah ini tidak terlalu lama bermukim. Pengembaraannya di Pulau Sapudi segera diakhiri dan melanjutkan ke pulau-pulau lain yang berdekatan dengan Pulau Sapudi.
Di sebelah Timur Pulau Sapudi ada pulau yang lebih kecil lagi, yaitu Pulau Raas. Di pulau ini Hasan melanjutkan pengembaraannya, setelah mengembara beberapa saat di Pulau Sapudi. Pengembaraannya ke Pulau Raas di awali dengan pendaratan di pelabuhan Katopak, yaitu tempat yang paling lazim digunakan para tamu untuk memasuki Pulau Raas. Di wilayah pesisir pulau ini tidak ada pendekar, kemudian pengembaraan dilanjutkan ke wilayah tengah pulau. Ternyata di tengah-tengah pualu ini ada padepokan. Pulau Raas terletak di sebelah timur Pulau Sapudi. Di Pulau ini Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto berlabuh di Pelabuhan Katopak. Di tenga-tengah pulau ini ternyata terdapat desa Kropok yang sekaligus menjadi nama padepokan pencak silat.
Padepokan di tengah-tengah Pulau Raas dipimpin oleh seorang kepala desa, yaitu kepala desa Kropok. Di padepokan ini seorang pendekar merangkap menjadi kepala desa, Hasan yakin bahwa hingga saat ini nama desa tersebut tetap tidak berubah. Di desa ini beliau menjadi murid di padepokan. Nama padepokan dan jenis pencak tidak menjadi pertimbangan utama, tetapi yang utama adalah belajar pencak dan memahami isinya serta sambil menyelamatkan diri dari pengejaran pemerintah penjajahan Jepang. Pengembaraan tersebut diatas merupakan proses untuk mendapatkan ilmu dan kemahiran pencak. Raden Hasan Habuddin Sastro Subroto di dalam menciptakan pencak berkomposisi 30% ilmu murni, 30% praktik, dan 40% ilham. Dalam menciptakan pencak unsur ilham lebih dominan. Oleh sebab itu, ada beberapa gerakan yang sulit dicarikan rasionalnya, tetapi didalam praktik dan penggunaannya sesuai dengan kenyataannya.
Sebagaimana halnya dalam pengembaraan-pengembaraan sebelumnya, di Pulau Raas, terutama di desa Kropok, Hasan mengalami kesulitan dan cukup sengsara. Kehidupan di desa Kropok lebih sulit sehingga terpaksa Hasan sering tidur dibawah pohon bakau untuk mencari nafkah. Di samping itu di desa Kropok suasananya kurang menguntungkan karena dekat dengan kantor polisi Raas. Keadaan ini mendorong Hasan untuk mengungsi tempat tidur sebab khawatir pengejaran tetap dilakukan. Selama mengembara di Pulau Raas, Hasan berkehendak untuk bertapa di tempat pertapaan Adi Rasa (Adi Raas). Menurut legenda masyarakat Madura, Adi Rasa telah berhasil mengantarkan Jokotole ke mana-mana, dan berhasil mengantarkan Jokotole menjadi salah seorang Raja Madura yang cukup disegani.
Didalam bahasa Madura istilah raas adalah berpadanan dengan kata rasa. Istilah raas juga memiliki pada kata lain yaitu galagas. Galagas adalah sejenis rumput raksasa yang biasanya tumbuh di pinggiran air payau atau dipinggir sungai. Batang galagas dapat mencapai tinggi hampir dua meter, bahkan lebih dan apabila sudah tua biasanya berbunga putih dan berbuah. Buah galagas berbulu tebal dan mudah terbang karena dihembus angin kemarau. Sejalan dengan itu, Adi Rasa adalah Adi Raas, maksudnya adalah seorang sakti mandraguna yang menjadi penguasa utama di pulau tersebut. Pemberian nama Pulau Raas adalah identik dengan penguasa dipulau tersebut. Menurut legenda masyarakat Madura, orang sakti mandraguna tersebut bertapa diatas rumput galagas. Oleh sebab itu kehendak Hasan untuk bertapa ditempat pertapaan Adi Rasa tidak berhasil sebab, Hasan tidak dapat menemukan tempatnya.
Setelah satu bulan di desa Kropok, Hasan melanjutkan pengembaraannya ke arah timur, yaitu di desa Barakas. Di desa ini ia bertahan agak lama karena ingin mengadakan penelitian, sebab di desa Barakas ini terdapat barang-barang peninggalan milik Van der Plast. Pengembaraan Hasan di desa Barakas agak berbeda dengan pengembaraan di tempat-tempat sebelumnya. Di desa ini Hasan mulai mengajar pencak. Di samping itu ia juga belajar. Tujuan mengajar pencak  di tempat ini adalah untuk mendapatkan pemasukan. Di desa Barakas Hasan mengumpulkan orang-orang kaya untuk diajar pencak dan dari mereka Hasan menerima uang lelah ala kadarnya. Setelah terkumpul uang tersebut oleh Hasan digunakan untuk belajar pencak kepada pendekar yang dianggap lebih mahir. Pada masa silam, yaitu masa Hasan mengembara, belajar pencak silat memerlukan biaya cukup mahal. Satu gerak tangkapan memakan biaya satu ringgit. Nilai satu ringgit dapat dikurs dengan dua setengah gram emas. Jika dibandingkan dengan proses tranformasi ilmu pencak silat sekarang ini. Didalam Pencak Silat Angkatan Muda Rasio terdapat puluhan, bahkan ratusan gerak tangkapan.
Pengembaraan dari pulau ke pulau lainnya disebelah timur Pulau Madura belum selesai. Setelah beberapa waktu di desa Barakas, pengembaraan dilanjutkan ke Pulau Tonduk. Perjalanan dari Barakas, ke Pulau Tonduk harus menyeberangi selat. Di pulau ini Hasan berjumpa dengan kepala Desa Tonduk yang bernama Haji Bakri. Raden Hasan Habuddin Sastor Subroto berguru silat kepadanya. Walaupun kakinya pincang Hasan tetap berguru. Di pulau Tonduk, Hasan tidak sekedar belajar silat, tetapi juga menyepi. Menurut pengamatan Hasan, Haji Bakri memiliki ilmu yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan dirinya. Belum cukup enam bulan tinggal di Pulau Tonduk, Hasan menemui kesulitan. Di tempat ini Hasan akan diambil menantu oleh seseorang. Akan tetapi Hasan belum siap untuk menikah. Kebelumsiapan itu dikarenakan Hasan teringat pesan ayahnya. Ayahnya berpesan agar Hasan berhati-hati dengan wanita. Walaupun Hasan berguru kepada Haji Bakri belum purna, ia sudah meninggalkan Pulau Tonduk  menuju sebelah timur, yaitu Pulau Gua-Gua. Dari pulau Gua-Gua, Hasan melanjutkan pengembaraan ke wilayah utara. Di sebelah utara pulau Gua-Gua terdapat tiga pulau berjejer, yaitu Talangoh Barat, Tengah dan Talangoh Air.
Pengembaraan berakhir di Pantai Baranta
Berita kekalahan Jepang terhadap sekutu disambut gembira oleh Hasan. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi hasan segera bergegas menuju Pulau Madura. Perjalanan melalui laut dari Buleleng ke Pulau Madura memerlukan waktu beberapa hari. Pada minggu terakhir bulan Agustus 1945, Hasan kembali ke Pulau Madura dengan memilih Pelabuhan Baranta untuk berlabuh. Setelah sampai di Pulau Baranta Hasan dan kawan-kawannya menghancurkan perahu yang sudah beberapa lama digunakan. Keadaan ini terpaksa dilakukan karena Hasan telah haul “bahwa perahu ini akan dihancurkan setelah Hasan tiba kembali di Pulau Madura.
Setibanya di rumah, Hasan disambut oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, ia kehilangan kakak kandunya yang bernama R. Abdullah. Abdullah dikabarkan diculik oleh pemerintah penjajahan Jepang, tetapi tidak jelas tindakan apa yang dilakukan Jepang kepadanya. Adik kandung R. Muhammad Saleh masih hidup ia menjabat sebagai guru di Blega. Menurut Maimuna (ibu), penangkapan Abdullah terjadi pada tahun 1942. Sejak penangkapan tersebut belum ada berita mengenai Abdullah. Sebagian anggota masyarakat memberitahukan bahwa Abdullah di bawa ke Makassar oleh Jepang. Setelah kembali berkumpul dengan kedua orangtuanya di Pamekasan, itu berarti pengembaraan telah berakhir. Selama pengembaraan Hasan telah belajar silat lebih kurang 32 padepokan. Padepokan tersebut dapat digolongkan kepada antara tujuh sampai sembilan aliran. Padepokan pencak silat tidak identik dengan aliran, tetapi dapat pula terjadi nama padepokan sekaligus mencerminkan aliran. Ke-32 padepokan dan ketujuh aliran pencak silat yang berhasil dipelajari, dipahami dan diamalkan oleh Hasan merupakan cikal bakal jurus-jurus dalam Pencak Silat Angkatan Muda Rasio (PAMUR).
Menurut Hasan, setiap pesilat atau pendekar Pencak Silat Ankatan Muda Rasio tidak boleh menonjolkan diri, angkuh dan sombong. Demikian pula, Raden Hasan Habuddin Sasto Subroto sangat sederhana dan tidak menonjolkan diri. Hal itu dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari beliau. Suatu ketika, Di pendopo Kabupaten Pamekasan, saat mengadakan demonstrasi, Bupati Pamekasan dan para undangan merasa terkejut dan tertegun melihat murid Hasan berkebangsaan Belgia yang menghadiri demonstrasi tersebut begitu hormat dan patuh pada Hasan. Biasanya orang-orang Eropa merasa enggan memberi hormat kepada orang lain. Tapi hal tersebut tidak terjadi di Pendopo Kabupaten Pamekasan. Akan tetapi, Hasan tidak merasa bangga dengan penghormatan dari muridnya tersebut.
Para pendekar Pamur tidak boleh sombong dan takabur, sebab sombong dan takabur dimurkai Tuhan dan mereka akan binasa. Pada suatu ketika, Hasan melarang pendekar Pamur mendemonstrasikan kemampuan membakar diri di tengah khalayak ramai, tetapi larangan tersebut dilanggar. Akhirnya dalam acara demontrasi tersebut terjadi peristiwa yang menyedihkan, yaitu pendekar tersebut benar-benar terbakar dan meninggal dunia. Di dalam Pamur dilarang pamer kekebalan tubuh, akan tetapi tidak melarang para pendekar melatih kekebalan badan dan melatih kekuatan agar tangkas dalam membela diri. Larangan tersebut hanya berlaku jika untuk menyombongkan diri dan ria. Demikian pula para pendekar Pamur boleh mempelajari ilmu tersebut dengan dasar pemikiran untuk penyempurnaan pembelaan diri.
Pamur adalah pencak silat tangan kosong, tetapi tetap diajarkan delapan unsur senjata. Hal ini bukan berarti telah meninggalkan prinsip sebagai pencak silat tangan kosong, melainkan untuk membela diri dari senjata tajam. Apabila ada serangan bersenjata, para pendekar Pamur akan mampu menyelamatkan diri dan terhindar dari serangan tersebut. Ciri khas Pamur adalah permainan menengah, berbeda dengan ciri yang ada pada beberapa pencak silat seperti Minangkabau, Melayu, Fort De Cock, Cimande, Tanah Merah, Mandar, Bang Simin dan Cik Agil. Beberapa pencak silat tersebut telah dipelajari oleh Hasan selama kurang lebih empat tahun kecuali Bang Simin dan Cik Agil yang telah dipelajarinya di Pamekasan sebelum mengembara.
Menurut Hasan, sebagai pendiri dan pencipta silat Pamur. Pencak silat di Indonesia terdiri dari tiga mazhab, yaitu mazhab konservatif, progresif dan liberal. Atau mazhab kuno, maju dan campuran. Menurut Hasan, Pamur termasuk mazhab liberal dan mazhab campuran, lebih tepatnya mazhab liberal nasional. Contoh yang paling jelas dalam Pamur adalah jurus tongkat yang diadopsi dari tongkat Minangkabau atau Mandar. Ukuran tongkat dalam pamur setinggi bahu ditambah satu genggam pesilat yang memainkan. Adapun asal mula didirikannya pamur oleh Hasan yaitu pertama, pada suatu ketika hasan menjuarai kejuaraan pencak silat se Jawa Timur di Kediri. Penonton tahu bahwa Hasan berasal dari Pemekasan, Madura. Salah seorang penonton memuji keberhasilan Hasan, namun lainnya mencemoohkannya karena menyayangkan Hasan sebagai orang Madura belum memiliki pencak silat khas Masura. Padahal wilayah lain yang lebih kecil dari Pulau Madura telah memiliki pencak silat khas daerah tersebut.
Kedua, terdorong oleh pesan lisan Mr. Wongsonegoro (Menteri Pendidikan RI) yang pada prinsipnya minta bantuan generasi muda agar pencak silat peninggalan nenek moyang dilestarikan, beliau juga berpesan agar pencak silat itu tidak diubah-ubah sehingga kehilangan keasliannya. Mr. Wongsonegoro juga mengharapkan pencak silat tidak kalah dengan bela diri luar negeri yang pada saat itu tidak terlalu lama akan menjadi kegemaran masyarakat. Beliau juga mengharapkan agar pencak silat menjadi milik nasional dan internasional. Sebenarnya banyak yang mendorong Hasan menciptakan pencak silat sendiri. Keinginan tersebut sudah terbayang saat ia masih remaja, namun baru dapat terwujud saat setelah ia dewasa. Motivasi untuk mendirikan dan menciptakan pencak silat yang memiliki ciri khas tertentu makin terasa setelah Hasan menikah. Hasan melangsungkan pernikahan pada bulan Oktober 1945 dengan Gadis bernama Kiptiyah yang lahir pada tanggal 10 Agustus 1931.
Dari pernikahannya tersebut lahir putera-puteri sebagai berikut :
  1. R. Sudjono Arief
  2. RR. Siti Kartini BA
  3. RR. Murdiati
  4. R. Hidayat Arief
  5. RR. Siti Warninda
  6. RR. Sri Murdaningsih
  7. R. Bambang Irawan
  8. R. Hermano Adi, S.Pd.
  9. R. Syamsul Hasan A. S.Sos.
  10. RR. Elly Yawati
  11. RR. Sri Lindiana
  12. RR. Jumaati

    sumber: